Selasa, 30 April 2013

Peran Media Massa Amerika Serikat Dalam Upaya Demokratisasi di Negara lain



AKBAR GALIH KUSUMA
110910101033
HUBUNGAN INTERNASIONAL 2011
TUGAS MATA KULIAH
KOMUNIKASI INTERNASIONAL
“HUBUNGAN MEDIA MASSA DENGAN DEMOKRATISASI”


Peran Media Massa Amerika Serikat
Dalam Upaya Demokratisasi di Negara lain

Sering kita dengar media massa adalah pilar ke-4 dalam konsep trias politica. Hal ini tidak lepas dari minat masyarakat yang selalu haus oleh informasi-informasi yang berkembang disekitarnya. Hal lain yang membuat media massa saat ini begitu penting adalah keyakinan bahwa media massa dapat dengan mudah menggiring opini publik dan tak jarang dijadikan sebagai alat yang efektif dalam melancarkan sebuah propaganda untuk mendukung kepentingan-kepentingan tertentu dari sebuah kelompok atau kepentingan seseorang.
Hal ini senada dengan konsep soft diplomacy atau yang lebih sering kita kenal dengan second track diplomacy. Dimana disitu dijelaskan bahwa opini publik yang diseting sedemikian rupa dapat membantu pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan baik dalam ataupun luar negeri.  Dalam kasus ini aktor utama dalam mengatur opini publik adalah media massa itu sendiri.
 Pada tahap yang lebih lanjut, terutama setelah ditemukannya mesin cetak oleh Gutenberg pada tahun 1928, telah memungkinkan semakin berkembangnya penggunaan media massa sebagai sarana propoganda. Setiap perubahan di dunia yang menyangkut komunikasi pasti berpengaruh kepada negara lain. Namun apakah benar bahwa opini publik yang dibentuk oleh media massa di 1 negara dapat langsung berpengaruh pada negara lain?. Tentu saja tidak, kita dapat menyebutnya dengan perbedaan kekuatan atau yang lebih tepatnya adalah perbedaan pengaruh dari setiap media-media yang ada.
Hal ini dapat kita lihat dari adanya ketimpangan informasi di dunia ini. Adanya kenyataan bawa berita-berita internasional yang disiarkan oleh pers, radio, dan televisi di negara-negara berkembang bersumber pada kantor-kantor berita raksasa seperti Reuters, United Press International (UPI), Voice of America (VOA), Associated Press (AP) dan lainya.
Arus informasi yang didomonasi oleh negara-negara maju yang memiliki kantor berita raksasa ini jelas terkadang memberitakan peristiwa yang timpang. Melalui media pemberitaan negara-negara maju dapat melancarkan propagandanya dengan berpijak pada asumsi kebenaran menurut pemerintahnya.
Dalam hal ini kita mencoba mengambil media Amerika sebagai sebuah contoh. “Perang” di era modern adalah sebuah perang yang lebih mengandalkan kekuatan media ketimbang kekuatan fisik. Pemerintahan Amerika Serikat dan Pentagon adalah sebuah contoh bagaimana melakukan salah satu kampanye public relation paling sukses dalam sejarah politik modern dalam penggunaan media untuk mendapatkan dukungan. Melalui televisi dan alat komunikasi lain, media massa Amerika telah meraih jangkauan global, dan secara intens mereka mulai membentuk sesuatu yang dapat kita katakan sebagai sebuah Amerikanisasi. Dengan sistem yang sudah berjaringan secara kuat, mereka dapat dengan mudah menyaring suara-suara yang dianggap menentang isu yang sedang mereka coba kembangkan sebagai salah satu upaya Amerikanisasi tadi.
Propaganda secara halus tadi dapat melalui iklan-iklan, film, lifestyle tentang artis-artis mancanegara serta juga berita politik internasional. Dimana dalam semua bentuk produk media tadi telah dikemas seakan-akan Amerika dan produk serta kebijkanya adalah sesuatu yang paling baik, paling benar dibandingkan dengan negara-negara lain.
Salah satu kasus pemanfaatan media untuk menggiring opini publik oleh Amerika adalah dalam konflik di timur tengah. Menurut Douglas Kellner (1995 : 199) Dalam analisisnya yang cukup kritis, dia menilai bahwa perang terhadap Irak merupakan sebuah teks yang dihasilkan oleh pemerintahan Bush, Pentangon dan media yang mempergunakan berbagai citra dan wacana tentang krisis, untuk menggerakkan persetujuan dan dukungan bagi intervensi militer AS. Douglas Kellner juga melihat bahwa sejak awal, berbagai institusi berita utama mengikuti kebijakan pemerintahan Bush dan Pentagon. Media-media mainstream di AS telah menjadi “kaki tangan” pemerintah. Ketika pemerintahan Bush mengirim pasukan berjumlah besar ke wilayah Irak, media-media utama mendukung tindakan ini dan menjadi corong untuk menggerakkan dukungan bagi kebijakan AS. Selama beberapa minggu, hanya sedikit suara penolakan yang terdengar di media-media utama. Berita, komentar, dan diskusi, terutama di televisi, sangat menyanjung solusi militer atas krisis tersebut, sebagai kendaraan propaganda bagi militer AS. Tidak ada debat televisi yang penting mengenai berbagai konsekuensi berbahaya respons militer besar-besaran AS atas invasi Irak, atau mengenai kepentingan dan kebijakan yang dilakukan oleh invasi militer tersebut. Kritik atas kebijakan AS secara luas menghilang dari media-media utama yang memberitakan krisis tersebut, dan hanya sedikit analisis ditampilkan yang menyimpang dari isu-isu yang dihadirkan oleh Pemerintahan Bush.
Sementara itu pemberitaan mengenai ribuan masyarakat Irak yang terbunuh sungguh sangat minim. Sentimen publik diperparah dengan penggambaraan buruk terhadap unjuk rasa yang dilakukan masyarakat Irak yang menolak kedatangan Amerika ke negaranya sebagai upaya masyarakat fanatik yang menginginkan terbentuknya pemerintahan teokrasi.
Atas nama demokrasi, AS memainkan perannya sebagai pejuang hak-hak kemanusiaan. Amerika Serikat selalu mengagungkan ujaran ’’Demokrasi’’. Demokrasi adalah harga mati bahkan sakral. Apapun yang tergambar sebagai demokrasi selalu dianggap baik dan patut didukung. Demikian juga sebaliknya, apapun yang membahayakan demokrasi patut dicurigai dan bila perlu diberangus sampai musnah. Amerika menganggap bahwasannya tiadanya demokrassi berandil besar pada tumbuh berkembanganya radikalisme dan aksi kekerasan di dunia Arab.Pesan semacam itulah yang selalu digencarkan oleh media-media massa internasional milik Amerika.
Akibatnya tidak tanggung-tanggung, opini masyarakat internasional mayoritas mendukung demokratisasi di timur tengah, tak terkecuali Indonesia. Gerakan-gerakan sparatisme di tubuh negara-negara timur tengah pun mulai muncul untuk menggulingkan sistem pemerintah yang sudah terbentuk puluhan tahun. Paham demokrasi yang belum dicerna secara menyeluruh dipaksakan ditelan. Hasilnya perang saudara di timur tengah pun tak terhindarkan. Rezim Sadam Husein, Khadafi dan lainya mulai tumbang akibat perang terus menerus.
Pada akhirnya saya dapat menyimpulkan bahwa peran media massa sebagai kepanjangan tangan pemerintah negara-negara adikuasa sangat efektif dalam upaya pelancaran propaganda dan penggiringan isu publik internasional. Salah satunya adalah dalam upaya penyebaran ide-ide demokrasi oleh Amerika di timur tengah yang terbukti dapat menumbangkan rezim diktatorat yang sudah berdiri puluhan tahun.
 







  






Tidak ada komentar:

Posting Komentar