Minggu, 27 Januari 2013

Kegunaan Teori dalam Studi Ilmu Hubungan Internasional

Hubungan Internasional sering disebut sebagai Ilmu yang melihat fakta-fakta yang terjadi

dalam dunia internasional. Untuk melihat dan memahami fakta-fakta tersebut, para pengamat

hubungan internasional mengunakan kerangka berfikir (teori). Penggunakan teori dalam

melihat fakta yang terjadi dalam dunia hubungan internasional akan memudahkan para

peneliti dalam mendiskripsikan, menganialisa fakta dan bahkan meramal apa yang akan

terjadi pada masa yang akan datang.

Teori sendiri memiliki banyak pengertian. Seperti yang dikatakan Dougherty dan Pfaltzgraff

(1997: 15) mendefenisikan teori sebagai refleksi sistematik mengenai sejumlah fenomena,

yang dibuat untuk menjelaskannya serta

tersebut berhubungan satu sama lain dalam suatu pola yang mempunyai arti dan masuk akal

daripada hanya sekedar acakan sejumlah item dalam bidang yang tidak koheren. Dalam

kamus besar Bahasa Indonesia dijelaskan teori merupakan "pendapat yang dikemukakan

sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa atau (kejadian)"

Begitu pula dalam disiplin ilmu hubungan internasional, pengertian teori tak banyak

mengalami berubah. Hanya saja dengan begitu luasnya jangkauan yang harus dianalisa,

dan begitu banyaknya faktor-faktor dan fakta-fakta dalam dunia internasional. Membuat

pemaknaan dan fungsi teori menjadi semakin beragam. Dan bahkan sering teori digunakan

tergantung dengan bagaimana dan untuk apa teori itu digunakan.

Charles A. McClelland, dalam buku Hubungan internasional: Teori dan Sistem menyebutkan

setidaknya ada 6 kegunaan teori dalam mengkaji fenomena hubungan internasional, antara

lain:

1. Mengorientasikannya pengetahuan dengan memberikan cara untuk “menyusun

bagian-bagiannya”; seperti yang dinyatakan Kenneth W. Thompson, teori

“menjadikan suatu tumpukan besar gejala jadi teratur dan berarti yang kalau tidak,

tetapi akan tidak berkaitan dan tidak bisa dimengerti.”

2. Menentukan prioritas-prioritas relatif untuk penyelidikan-penyelidikan lebih lanjut

dengan menetapkan kriteria yang bermakna.

menunjukkan bagaimana fenomena-fenomena

3. Mendorong usaha mencari pola berulang mengenai pengalaman; mengatur perkiraan–

perkiraan yang, untuk segala maksud dan tujuan, merupakan pola, keteraturan dan

ulangan kejadian.

4. Memmungkinkan, berkat sifatnya yang menyusun fakta-fakta menjadi pola-pola

teratur dan berulang, pengenalan variasi-variasi dalam gejala-gejala di luar pola-pola

tersebut.

5. Menjadi sandi yang secara singkat melukiskan watak pengetahuan terperinci yang

tercakup olehnya.

6. Merupakan alat pemindahan terpenting jika diperlukan dalam pemindahan bahan dari

kebudayaan-kebudayaan khusus ke kebudayaan-kebudayaan umum.

Sementara itu, Zalewski membagi ilmuwan hubungan internasional ke dalam 3 kelompok.

Pengelompokan ini berdasarkan bagaimana cara dan tujuan teori digunakan. Yang pertama

adalah kelompok ilmuwan yang memandang teori sebagai alat. (theory as a tool). Dalam

pandangan mereka ini, teori adalah sesuatu yang digunakan oleh mereka yang berkeinginan

untuk memberi arti terhadap kejadian-kejadian dalam politik internasional.

Kelompok kedua adalah ilmuwan yang sering memandang bahwa teori selalu berhubungan

secara aktif dengan dunia nyata. Hal ini menunjukan bahwa teori selain digunakan untuk

menganalisis masalah, teori seharusnya juga dapat digunakan untuk mengatasi masalah

tersebut. Kelompok ini sering disebut dengan ilmuwan yang menganggap teori sebagai kritik

(theory as critique).

Ketiga, ilmuwan yang memikirkan teori sebagai praktek kehidupan sehari-hari (theory as

everyday practice). Kelompok ini umumnya beranggapan bahwa apa yang dilakukan kita

sehari-hari pada umumya ialah kegiatan berteori (theorise). Dengan demikian, di dalam hal

ini teori cenderung tidak dilihat sebagai suatu benda (noun) yang lalu berkonotasi alat yang

dapat diambil, dimanfaatkan dan kemudian diperbaiki manakala perlu, tetapi lebih dilihat

sebagai suatu kegiatan (verb).

Sementara itu Morgenthau, (1995: 36-52) (intelectual and political functions of theory)

mengatakan bahwa teori memiliki fungsi justifikasi dalam setiap kebijakan yangditerapkan

suatu negara. Morgenthau mencontohkan fungsi ini pada kebijakan yang diambil masa

pemeritahan Presiden Truman dan wakilnya Acheson. Menurut Morgenthau, pada 1947 pola

baru politik luar negeri Amerika Serikat yang terbentuk, termanifestasikan dalam empat

temuan politik: Doktrin Truman, Kebijakan Pembendungan (Containment), Kebijakan

Marshall, dan sistem aliansi Amerika. Keempat kebijakan ini mempunyai asumsi yang

sama yaitu tanggungjawab Amerika Serikat di seluruh Wilayah Pengaruh Barat (Western

Hemisphere) dengan jantung kebijakan ialah strategi pembendungan. Namun demikian,

kebijakan pembendungan tidak pernah diformulasikan secara resmi tetapi muncul dengan

sendirinya sebagai reaksi terhadap ancaman imperealisme Rusia. Menurut Morgenthau,

tidak ada teori-teori hubungan internasional yang dapat menjelaskan perilaku pemerintah

Amerika saat itu. Kerangka teori justru dibentuk setelah kebijakan tersebut diambil, sehingga

memunculkan suatu pembenaran atas apa yang dilakukan oleh pengambil keputusan secara

intelektual.

Selain itu, masih menurut Morgenthau teori juga bisa digunakan sebagai landasan dasar

dalam pembuatan kebijakan. Dalam hal ini teori seakan menyediakan kerangka kerja bagi

pembuat keputusan. Setidaknya para praktisi pemerintah dapat memprediksi rintangan dan

peluang dari setiap kebijakan yang mereka buat.

Namun menurut saya sebagai seorang mahasiswa hubungan internasional. Kegunaan

teori yang paling utama adalah: “Sebagai sebuah “tameng” dalam melindungi komunitas

akademik dari kontak dengan kehidupan dunia politik yang nyata. Fungsi inilah yang

seringkali diperankan oleh mereka yang sangat mengutamakan metodologi di dalam upaya

mengembangkan teorinya.” (Morgenthau)

Memahami Perkembangan Teori Alternatif dalam Ilmu Hubungan Internasional

Penyebab utama berkembangnya teori alternatif dalam ilmu hubungan internasional seperti

feminism, konstruktifis, positifis, posmodernisme, teori kritis dll. Adalah karena grand teory

atau liberalisme dan realisme dianggap tak lagi mampu menjawab fenomena dalam dunia

hubungan internasional yang semakin kompleks. Kemampuan prediksi dari grand teory juga

dianggap tak lagi mampu menebak dan meramalkan fenomena yang ada.

Hal ini diperkuat dengan pendapat Jack Donnelley dalam bukunya “Theories of International

Relations” yang mengatakan bahwa realisme bukan merupakan teori yang bersifat prespektif,

atau dapat dikatakan bahwa teori ini tidak mampu memberikan petunjuk akan apa yang akan

terjadi pada masa yanga akan datang.

Nilai-nilai realisme seperti state-centric, power-oriented, dan anarchy dianggap tak lagi

relevan dengan perkembangan zaman. Hal ini senada dengan apa yang pernah diucapkan

oleh Jackson dan Sorensen bahwa teori realisme memiliki fokus yang terlalu sempit, mereka

menganggap bahwa teori ini gagal dalam menangkap perluasan politik internasional.

Tak diakuinya peran lain dalam hubungan internasional selain negara adalah salah satu

konsep yang tak lagi relevan dalam melihat perkembangan dunia internasional. Realisme

hanya memandang individu sebagai bagian dari negara. Dimana setiap keputusan atau

kebijakan luar negeri suatu negara ditentukan oleh pemegang kekuasaan.

Perkembangan manusia yang semakin pesat diikuti dengan munculnya berbagai kebutuhan

manusia sebagai warga negara. Tentu akan mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu

negara. Hal ini yang sekarang terjadi, dimana kekuatan rakyat semakin besardalam mendesak

pemerintahanya untuk mengeluarkan suatu kebijakan yang berorientasi pada kepentingan

rakyat.

Keterbatasan pemerintah dalam memenuhi setiap keinginan rakyatnya akan semakin

mendorong kemandirian individu-individu dalam memenuhi kebutuhan masing-masing.

Munculnya aktor-aktor selain negara ini adalah salah satu contoh dimana teori realisme

dianggap gagal memprediksi apa yang akan terjadi di masa yang akan mendatang.

Seperti sifat ilmu sosial lainya, ilmu hubungan internasional juga mengalami perubahan yang

terus-menerus mengikuti perkembangan zaman. Antara lain adalah isu-isu dan metodelogi

yang digunakan dalam menganalisis fenomena dunia internasional. Ilmu hubungan

internasional pasca perang dingin menganggap pendekatan teori-teori tradisional gagal dalam

menangkap perkembangan politik internasional. Pendekatan yang seharusnya digunakan

lebih dengan melihat fenomena sebagai sebuah aliran-aliran tersendiri oleh para setiap

akademisi hubungan internasional yang lebih sesuai dengan isu yang sedang terjadi.

Menurut saya teori-teori alternatif muncul bukan untuk meruntuhkan pandangan teori-teori

tradisional seperti realisme dan liberalisme. Namun lebih kepada untuk menjawab fenomena

dunia internasional yang semakin komplek. Teori alternatif dapat disebut sebagai pilihan-

pilihan alat analisis yang dapat kita gunakan untuk menganalisis isu hubungan internasional

yang bersifat kontemporer. Tidak ada satu pun teori yang bisa dikatakan sebagai teori terbaik.

Karena tingkat kebaikan suatu teori hanya dapat dilihat dari seberapa dalamnya teori tersebut

menganalisa suatu masalah, seberapa besar nilai-nilai koherensinya dan tingkat kejelasan

ekposisinya. Kemunculan isu-isu kontenporer dalm studi HI-lahyang akhirnya memunculkan

teori alternatif untuk menjawabnya.

Memahami Peristiwa 9/11 Berdasarkan Pandangan Teori – Teori Realis

Peristiwa yang terjadi di New york dan Washington D.C pada 9 September 2001 ini

adalah serangkaian empat serangan bunuh diri yang telah diatur oleh kelompok militan

Islam, al-Qaeda. Dengan membajak empat pesawat jet penumpang.Para pembajak sengaja

menabrakkan dua pesawat ke Menara Kembar World Trade Center di New York City; kedua

menara runtuh dalam kurun waktu dua jam. Pembajak juga menabrakkan pesawat ketiga ke

Pentagon di Arlington, Virginia.

Organisasi yang mendalangi serangan tersebut dikenal dengan al-Qaeda. Gerakan ini

dipimpin oleh milyarder Arab Saudi (belakangan status kewarganegaraannya dicabut) yang

berkantor pusat di sebuah negeri yang sarat dengan pengalaman perang: Afghanistan.

Osama Bin Laden sebagai orang yang paling gencar dalam menyuarakan perang terhadap

Amerika dan sebagai sosok yang diyakini sebagai pemimpin Al-Qaeda saat itu langsung

menjadi target utama Amerika. Banyak penyebab Al-Qaeda menyerang Amerika. Namun

menurut Osama ada 3 penyebab utama kenapa Al-Qaeda memusui Amerika, antara lain:

1. Dukungan AS terhadap Israel, Israel yang diproklamirkan pada tanggal 14 Mei 1948,

dipandang oleh banyak negara sebagai negara agreseor.Dimana Israel sedikit demi

sedikit mengusir rakyat Palestina dari tanahnya. Amerika disini disebut-sebut sebagai

donatur utama Israel dalam upayanya menguasai tanah Palestina. Amerika selalu

memposisikan Israel sebagai korban atas setiap serangan balasan Hamas dan pejuang

Islam lainya di Timur tengah.

2. Keberadaan Amerika Serikat di Arab Saudi, Arab saudi tidak mengindahkan pendapat

Osama dan justru semakin mendekatkan diri kepada Amerika dengan kerjasama

dalam bidang keamanan dan pengelolaan sumber daya minyak . Kerjasama antara

Arab Saudi dan Amerika ini semakin membuat panas Osama. Di samping itu Al-

Qaeda sangat mempercayai bahwa dalam kepercayaan Islam, kaum kafir (termasuk

Amerika) tidak diperkenankan untuk memasuki tanah suci (Mekkah dan Madinah).

Kalaupun dibolehkan, maka hanya karena alasan darurat dan tidak lebih dari tiga hari.

3. Kepedulian Al-Qaeda kepada nasib Irak setelah Embargo dunia barat yang

mengakibatkan kesengsaraan beruntun dalam negeri Irak. Amerika melalui

kemampuan diplomasinya dan posisi strategis di PBB mampu mempengaruhi

negara-negara barat untuk mengembargo ekonomi Irak pasca invasi Irak ke Kuwait.

Meski embargo ini sempat diperingan dengan kebijakan ”Oil for Food” dimana

Irak diperbolehkan menjual minyaknya selama 6 bulan untuk ditukarkan dengan

bahan makanan. Namun itu tidak cukup untuk mengangkat penderitaan rakyat

Irak. Beberapa negara sempat mengusulkan untuk pencabutan hukuman embargo

atas Irak. Namun Amerika yang tidak ingin kehilangan pengaruh di Timur tengah

dan penurunan pasokan minyak untuk negaranya, tetap bersikukuh untuk tidak

melepaskan Irak. Hal ini dilakukan dengan banyak cara, seperti tuduhan Irak yang

mempunyai senjata pemusnah massal atau fitnah-fitnah pada tokoh penting di Irak.

Apa yang diinginkan oleh al-Qaeda dengan serangan-serangan mereka kepada Amerika

adalah untuk memberitahukan bahwa kaum muslim tidak membenarkan kebijakan Amerika,

termasuk budayanya. Menurut Yanuardi Syukur, dalam Islam, sistem budaya masyarakat,

tidak bisa dilepaskan dari Islam secara umum. Islam tidak mengenal dikotomi antara

kehidupan yang profan dan sakral, atau yang duniawi dan ukhrawi.

Untuk memahami aksi Al-qaeda pada peristiwa 9/11 ini kita akan menggunakan pendekatan

realis. Dimana realis dunia hubungan internasional memandang bahwa serangan Al-qaeda ini

adalah sebagai bentuk perebutan kekuasaan dan pelestarian diri antara negara-negara, atau

tindakan perang oleh kelompok mencari kekuasaan.

Realis melihat terorisme sebagai bagian dari perjuangan untuk mempertahankan diri dan

kekuasaan antara negara-negara. Dalam pandangan realis, para pelaku terorisme (dalam hal

ini Al-qaeda) selalu dianggap sebagai aktor negara, mengingat sifat realis yang state-centris.

Dengan memperlakukan sebagai agen teroris negara yang mendukung atau sponsor terorisme

(Afganistan), dan melihat terorisme sebagai bagian dari perjuangan keseluruhan antara

negara-negara untuk kekuasaan dan pemeliharaan diri.

Memahami Peran-Peran Aktor Non-Negara (MNC) Dalam Usaha Perdamaian Dunia

Seperti yang telah kita ketahui, bahwa dengan semakin beragamnya isu dalam dunia

hubungan internasional yang memaksa keluarnya aktor non negara seperti NGO dan INGO

yang menjadikan peran mereka semakin dianggap penting dalam perpolitikan internasional.

Isu-isu dalam dunia hubungan internasional tak lagi didominasi oleh isu keamanan dan

perang saja. Tapi isu-isu itu kini berkembang menjadi lebih luas seperti isu tentang hak asasi

manusia, ekonomi, perdagangan, lingkungan dan lain-lain. Aktor non negara ini memiliki

peran yang semakin kuat dalam menyelesaikan permasalahan-permaslahan internasional.

Baik NGO maupun INGO selaku aktor non-negara dalam dunia internasional dapat dibagi

menjadi 2 kelompok, yaitu non profit dan profit. Aktor negara non profit seprti NGO (Non

Governmental Organization), jaringan dan koalisi serta gerakan sosial adalah bentuk gerakan

yang ingin memperjuangkan kepentingan umat manusia terkait permasalahan dalam bidang

kemanusiaan, keamanan dan masalah lingkungan.

NGO didirikan oleh individu atau sekelompok orang untuk melakukan kegiatan yang

bertujuan mempengaruhi kebijakan negara dan organisasi pemerintah (IGO) dalam bidang-

bidang kemanusiaan (HAM), memperjuangkan hak wanita, perdamaian dan perlindungan

alam. NGO beroperasi ditingkat universal, antar benua dan tingkat regional. Contoh NGO

seperti Palang Merah Internasional, Oxfam, Doctor Without Borders, CARE International,

Save The Children Federation dan lain-lain.

Aktor non negara profit seperti perusahaan multinasional (MNC) juga merupakan NGO

yang bertugas khusus mencari keuntunngan dan bergerak hingga melewati hingga lintas

batas negara. Perusahaan multinasional (MNC) ini berusaha mempengaruhi tindakan dan

kebijakan aktor negara tempat berinvestasi agar menerapkan sistem perdagangan liberal

dan kebijakan investasi sehingga memberikan keuntungan kepada MNC itu sendiri. MNC

bergerak dibidang industri, perbankan dan perusahaan jasa. Contoh MNC McDonald, KFC,

Honda, Carrefour, GAP dll

MNC selalu menekan pemerintah untuk dapat menciptakan lingkungan bisnis dan

perdagangan yang ideal. Ideal dalam artian adalah lingkungan yang jauh dari kekerasan

dan konflik. Hal ini tak lain bertujuan untuk memudahkan MNC tersebut dalam meraup

keuntungan.

Dalam globalisasi, MNC memberikan peran yang besar dalam persebaran ilmu teknologi,

produksi, dan kapital negara-negara yang ia jadikan pasar. Dimana koorporasi ini disisi lain

juga memberikan keuntungan bagi masyarakat yang berada di negara berkembang berupa

kemampuan produksi. Pada saat yang sama negara pemilik MNC juga mendapat keuntungan

dari hasil produksi dan efisiensi dalam produksinya. Dimana mereka dapat memperoleh

tenaga kerja dan bahan baku murah, sehingga dapat mengeruk keuntungan yang lebih besar.

Salah satu konsep liberalisme menjelaskan bahwa dengan 2 negara atau lebih menjalin

hubungan yang saling menguntungkan, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk berperang.

Aktor utama dalam hubungan yang saling menguntungkan ini tidak lain adlah MNC sebagai

alat negara untuk mencari keuntungan dengan melewati batas teretori negaranya.



"Mahasiswa baik silahkan copas"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar