Hubungan Internasional sering disebut sebagai Ilmu yang melihat fakta-fakta yang terjadi
dalam dunia internasional. Untuk melihat dan memahami fakta-fakta tersebut, para pengamat
hubungan internasional mengunakan kerangka berfikir (teori). Penggunakan teori dalam
melihat fakta yang terjadi dalam dunia hubungan internasional akan memudahkan para
peneliti dalam mendiskripsikan, menganialisa fakta dan bahkan meramal apa yang akan
terjadi pada masa yang akan datang.
Teori sendiri memiliki banyak pengertian. Seperti yang dikatakan Dougherty dan Pfaltzgraff
(1997: 15) mendefenisikan teori sebagai refleksi sistematik mengenai sejumlah fenomena,
yang dibuat untuk menjelaskannya serta
tersebut berhubungan satu sama lain dalam suatu pola yang mempunyai arti dan masuk akal
daripada hanya sekedar acakan sejumlah item dalam bidang yang tidak koheren. Dalam
kamus besar Bahasa Indonesia dijelaskan teori merupakan "pendapat yang dikemukakan
sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa atau (kejadian)"
Begitu pula dalam disiplin ilmu hubungan internasional, pengertian teori tak banyak
mengalami berubah. Hanya saja dengan begitu luasnya jangkauan yang harus dianalisa,
dan begitu banyaknya faktor-faktor dan fakta-fakta dalam dunia internasional. Membuat
pemaknaan dan fungsi teori menjadi semakin beragam. Dan bahkan sering teori digunakan
tergantung dengan bagaimana dan untuk apa teori itu digunakan.
Charles A. McClelland, dalam buku Hubungan internasional: Teori dan Sistem menyebutkan
setidaknya ada 6 kegunaan teori dalam mengkaji fenomena hubungan internasional, antara
lain:
1. Mengorientasikannya pengetahuan dengan memberikan cara untuk “menyusun
bagian-bagiannya”; seperti yang dinyatakan Kenneth W. Thompson, teori
“menjadikan suatu tumpukan besar gejala jadi teratur dan berarti yang kalau tidak,
tetapi akan tidak berkaitan dan tidak bisa dimengerti.”
2. Menentukan prioritas-prioritas relatif untuk penyelidikan-penyelidikan lebih lanjut
dengan menetapkan kriteria yang bermakna.
menunjukkan bagaimana fenomena-fenomena
3. Mendorong usaha mencari pola berulang mengenai pengalaman; mengatur perkiraan–
perkiraan yang, untuk segala maksud dan tujuan, merupakan pola, keteraturan dan
ulangan kejadian.
4. Memmungkinkan, berkat sifatnya yang menyusun fakta-fakta menjadi pola-pola
teratur dan berulang, pengenalan variasi-variasi dalam gejala-gejala di luar pola-pola
tersebut.
5. Menjadi sandi yang secara singkat melukiskan watak pengetahuan terperinci yang
tercakup olehnya.
6. Merupakan alat pemindahan terpenting jika diperlukan dalam pemindahan bahan dari
kebudayaan-kebudayaan khusus ke kebudayaan-kebudayaan umum.
Sementara itu, Zalewski membagi ilmuwan hubungan internasional ke dalam 3 kelompok.
Pengelompokan ini berdasarkan bagaimana cara dan tujuan teori digunakan. Yang pertama
adalah kelompok ilmuwan yang memandang teori sebagai alat. (theory as a tool). Dalam
pandangan mereka ini, teori adalah sesuatu yang digunakan oleh mereka yang berkeinginan
untuk memberi arti terhadap kejadian-kejadian dalam politik internasional.
Kelompok kedua adalah ilmuwan yang sering memandang bahwa teori selalu berhubungan
secara aktif dengan dunia nyata. Hal ini menunjukan bahwa teori selain digunakan untuk
menganalisis masalah, teori seharusnya juga dapat digunakan untuk mengatasi masalah
tersebut. Kelompok ini sering disebut dengan ilmuwan yang menganggap teori sebagai kritik
(theory as critique).
Ketiga, ilmuwan yang memikirkan teori sebagai praktek kehidupan sehari-hari (theory as
everyday practice). Kelompok ini umumnya beranggapan bahwa apa yang dilakukan kita
sehari-hari pada umumya ialah kegiatan berteori (theorise). Dengan demikian, di dalam hal
ini teori cenderung tidak dilihat sebagai suatu benda (noun) yang lalu berkonotasi alat yang
dapat diambil, dimanfaatkan dan kemudian diperbaiki manakala perlu, tetapi lebih dilihat
sebagai suatu kegiatan (verb).
Sementara itu Morgenthau, (1995: 36-52) (intelectual and political functions of theory)
mengatakan bahwa teori memiliki fungsi justifikasi dalam setiap kebijakan yangditerapkan
suatu negara. Morgenthau mencontohkan fungsi ini pada kebijakan yang diambil masa
pemeritahan Presiden Truman dan wakilnya Acheson. Menurut Morgenthau, pada 1947 pola
baru politik luar negeri Amerika Serikat yang terbentuk, termanifestasikan dalam empat
temuan politik: Doktrin Truman, Kebijakan Pembendungan (Containment), Kebijakan
Marshall, dan sistem aliansi Amerika. Keempat kebijakan ini mempunyai asumsi yang
sama yaitu tanggungjawab Amerika Serikat di seluruh Wilayah Pengaruh Barat (Western
Hemisphere) dengan jantung kebijakan ialah strategi pembendungan. Namun demikian,
kebijakan pembendungan tidak pernah diformulasikan secara resmi tetapi muncul dengan
sendirinya sebagai reaksi terhadap ancaman imperealisme Rusia. Menurut Morgenthau,
tidak ada teori-teori hubungan internasional yang dapat menjelaskan perilaku pemerintah
Amerika saat itu. Kerangka teori justru dibentuk setelah kebijakan tersebut diambil, sehingga
memunculkan suatu pembenaran atas apa yang dilakukan oleh pengambil keputusan secara
intelektual.
Selain itu, masih menurut Morgenthau teori juga bisa digunakan sebagai landasan dasar
dalam pembuatan kebijakan. Dalam hal ini teori seakan menyediakan kerangka kerja bagi
pembuat keputusan. Setidaknya para praktisi pemerintah dapat memprediksi rintangan dan
peluang dari setiap kebijakan yang mereka buat.
Namun menurut saya sebagai seorang mahasiswa hubungan internasional. Kegunaan
teori yang paling utama adalah: “Sebagai sebuah “tameng” dalam melindungi komunitas
akademik dari kontak dengan kehidupan dunia politik yang nyata. Fungsi inilah yang
seringkali diperankan oleh mereka yang sangat mengutamakan metodologi di dalam upaya
mengembangkan teorinya.” (Morgenthau)
Memahami Perkembangan Teori Alternatif dalam Ilmu Hubungan Internasional
Penyebab utama berkembangnya teori alternatif dalam ilmu hubungan internasional seperti
feminism, konstruktifis, positifis, posmodernisme, teori kritis dll. Adalah karena grand teory
atau liberalisme dan realisme dianggap tak lagi mampu menjawab fenomena dalam dunia
hubungan internasional yang semakin kompleks. Kemampuan prediksi dari grand teory juga
dianggap tak lagi mampu menebak dan meramalkan fenomena yang ada.
Hal ini diperkuat dengan pendapat Jack Donnelley dalam bukunya “Theories of International
Relations” yang mengatakan bahwa realisme bukan merupakan teori yang bersifat prespektif,
atau dapat dikatakan bahwa teori ini tidak mampu memberikan petunjuk akan apa yang akan
terjadi pada masa yanga akan datang.
Nilai-nilai realisme seperti state-centric, power-oriented, dan anarchy dianggap tak lagi
relevan dengan perkembangan zaman. Hal ini senada dengan apa yang pernah diucapkan
oleh Jackson dan Sorensen bahwa teori realisme memiliki fokus yang terlalu sempit, mereka
menganggap bahwa teori ini gagal dalam menangkap perluasan politik internasional.
Tak diakuinya peran lain dalam hubungan internasional selain negara adalah salah satu
konsep yang tak lagi relevan dalam melihat perkembangan dunia internasional. Realisme
hanya memandang individu sebagai bagian dari negara. Dimana setiap keputusan atau
kebijakan luar negeri suatu negara ditentukan oleh pemegang kekuasaan.
Perkembangan manusia yang semakin pesat diikuti dengan munculnya berbagai kebutuhan
manusia sebagai warga negara. Tentu akan mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu
negara. Hal ini yang sekarang terjadi, dimana kekuatan rakyat semakin besardalam mendesak
pemerintahanya untuk mengeluarkan suatu kebijakan yang berorientasi pada kepentingan
rakyat.
Keterbatasan pemerintah dalam memenuhi setiap keinginan rakyatnya akan semakin
mendorong kemandirian individu-individu dalam memenuhi kebutuhan masing-masing.
Munculnya aktor-aktor selain negara ini adalah salah satu contoh dimana teori realisme
dianggap gagal memprediksi apa yang akan terjadi di masa yang akan mendatang.
Seperti sifat ilmu sosial lainya, ilmu hubungan internasional juga mengalami perubahan yang
terus-menerus mengikuti perkembangan zaman. Antara lain adalah isu-isu dan metodelogi
yang digunakan dalam menganalisis fenomena dunia internasional. Ilmu hubungan
internasional pasca perang dingin menganggap pendekatan teori-teori tradisional gagal dalam
menangkap perkembangan politik internasional. Pendekatan yang seharusnya digunakan
lebih dengan melihat fenomena sebagai sebuah aliran-aliran tersendiri oleh para setiap
akademisi hubungan internasional yang lebih sesuai dengan isu yang sedang terjadi.
Menurut saya teori-teori alternatif muncul bukan untuk meruntuhkan pandangan teori-teori
tradisional seperti realisme dan liberalisme. Namun lebih kepada untuk menjawab fenomena
dunia internasional yang semakin komplek. Teori alternatif dapat disebut sebagai pilihan-
pilihan alat analisis yang dapat kita gunakan untuk menganalisis isu hubungan internasional
yang bersifat kontemporer. Tidak ada satu pun teori yang bisa dikatakan sebagai teori terbaik.
Karena tingkat kebaikan suatu teori hanya dapat dilihat dari seberapa dalamnya teori tersebut
menganalisa suatu masalah, seberapa besar nilai-nilai koherensinya dan tingkat kejelasan
ekposisinya. Kemunculan isu-isu kontenporer dalm studi HI-lahyang akhirnya memunculkan
teori alternatif untuk menjawabnya.
Memahami Peristiwa 9/11 Berdasarkan Pandangan Teori – Teori Realis
Peristiwa yang terjadi di New york dan Washington D.C pada 9 September 2001 ini
adalah serangkaian empat serangan bunuh diri yang telah diatur oleh kelompok militan
Islam, al-Qaeda. Dengan membajak empat pesawat jet penumpang.Para pembajak sengaja
menabrakkan dua pesawat ke Menara Kembar World Trade Center di New York City; kedua
menara runtuh dalam kurun waktu dua jam. Pembajak juga menabrakkan pesawat ketiga ke
Pentagon di Arlington, Virginia.
Organisasi yang mendalangi serangan tersebut dikenal dengan al-Qaeda. Gerakan ini
dipimpin oleh milyarder Arab Saudi (belakangan status kewarganegaraannya dicabut) yang
berkantor pusat di sebuah negeri yang sarat dengan pengalaman perang: Afghanistan.
Osama Bin Laden sebagai orang yang paling gencar dalam menyuarakan perang terhadap
Amerika dan sebagai sosok yang diyakini sebagai pemimpin Al-Qaeda saat itu langsung
menjadi target utama Amerika. Banyak penyebab Al-Qaeda menyerang Amerika. Namun
menurut Osama ada 3 penyebab utama kenapa Al-Qaeda memusui Amerika, antara lain:
1. Dukungan AS terhadap Israel, Israel yang diproklamirkan pada tanggal 14 Mei 1948,
dipandang oleh banyak negara sebagai negara agreseor.Dimana Israel sedikit demi
sedikit mengusir rakyat Palestina dari tanahnya. Amerika disini disebut-sebut sebagai
donatur utama Israel dalam upayanya menguasai tanah Palestina. Amerika selalu
memposisikan Israel sebagai korban atas setiap serangan balasan Hamas dan pejuang
Islam lainya di Timur tengah.
2. Keberadaan Amerika Serikat di Arab Saudi, Arab saudi tidak mengindahkan pendapat
Osama dan justru semakin mendekatkan diri kepada Amerika dengan kerjasama
dalam bidang keamanan dan pengelolaan sumber daya minyak . Kerjasama antara
Arab Saudi dan Amerika ini semakin membuat panas Osama. Di samping itu Al-
Qaeda sangat mempercayai bahwa dalam kepercayaan Islam, kaum kafir (termasuk
Amerika) tidak diperkenankan untuk memasuki tanah suci (Mekkah dan Madinah).
Kalaupun dibolehkan, maka hanya karena alasan darurat dan tidak lebih dari tiga hari.
3. Kepedulian Al-Qaeda kepada nasib Irak setelah Embargo dunia barat yang
mengakibatkan kesengsaraan beruntun dalam negeri Irak. Amerika melalui
kemampuan diplomasinya dan posisi strategis di PBB mampu mempengaruhi
negara-negara barat untuk mengembargo ekonomi Irak pasca invasi Irak ke Kuwait.
Meski embargo ini sempat diperingan dengan kebijakan ”Oil for Food” dimana
Irak diperbolehkan menjual minyaknya selama 6 bulan untuk ditukarkan dengan
bahan makanan. Namun itu tidak cukup untuk mengangkat penderitaan rakyat
Irak. Beberapa negara sempat mengusulkan untuk pencabutan hukuman embargo
atas Irak. Namun Amerika yang tidak ingin kehilangan pengaruh di Timur tengah
dan penurunan pasokan minyak untuk negaranya, tetap bersikukuh untuk tidak
melepaskan Irak. Hal ini dilakukan dengan banyak cara, seperti tuduhan Irak yang
mempunyai senjata pemusnah massal atau fitnah-fitnah pada tokoh penting di Irak.
Apa yang diinginkan oleh al-Qaeda dengan serangan-serangan mereka kepada Amerika
adalah untuk memberitahukan bahwa kaum muslim tidak membenarkan kebijakan Amerika,
termasuk budayanya. Menurut Yanuardi Syukur, dalam Islam, sistem budaya masyarakat,
tidak bisa dilepaskan dari Islam secara umum. Islam tidak mengenal dikotomi antara
kehidupan yang profan dan sakral, atau yang duniawi dan ukhrawi.
Untuk memahami aksi Al-qaeda pada peristiwa 9/11 ini kita akan menggunakan pendekatan
realis. Dimana realis dunia hubungan internasional memandang bahwa serangan Al-qaeda ini
adalah sebagai bentuk perebutan kekuasaan dan pelestarian diri antara negara-negara, atau
tindakan perang oleh kelompok mencari kekuasaan.
Realis melihat terorisme sebagai bagian dari perjuangan untuk mempertahankan diri dan
kekuasaan antara negara-negara. Dalam pandangan realis, para pelaku terorisme (dalam hal
ini Al-qaeda) selalu dianggap sebagai aktor negara, mengingat sifat realis yang state-centris.
Dengan memperlakukan sebagai agen teroris negara yang mendukung atau sponsor terorisme
(Afganistan), dan melihat terorisme sebagai bagian dari perjuangan keseluruhan antara
negara-negara untuk kekuasaan dan pemeliharaan diri.
Memahami Peran-Peran Aktor Non-Negara (MNC) Dalam Usaha Perdamaian Dunia
Seperti yang telah kita ketahui, bahwa dengan semakin beragamnya isu dalam dunia
hubungan internasional yang memaksa keluarnya aktor non negara seperti NGO dan INGO
yang menjadikan peran mereka semakin dianggap penting dalam perpolitikan internasional.
Isu-isu dalam dunia hubungan internasional tak lagi didominasi oleh isu keamanan dan
perang saja. Tapi isu-isu itu kini berkembang menjadi lebih luas seperti isu tentang hak asasi
manusia, ekonomi, perdagangan, lingkungan dan lain-lain. Aktor non negara ini memiliki
peran yang semakin kuat dalam menyelesaikan permasalahan-permaslahan internasional.
Baik NGO maupun INGO selaku aktor non-negara dalam dunia internasional dapat dibagi
menjadi 2 kelompok, yaitu non profit dan profit. Aktor negara non profit seprti NGO (Non
Governmental Organization), jaringan dan koalisi serta gerakan sosial adalah bentuk gerakan
yang ingin memperjuangkan kepentingan umat manusia terkait permasalahan dalam bidang
kemanusiaan, keamanan dan masalah lingkungan.
NGO didirikan oleh individu atau sekelompok orang untuk melakukan kegiatan yang
bertujuan mempengaruhi kebijakan negara dan organisasi pemerintah (IGO) dalam bidang-
bidang kemanusiaan (HAM), memperjuangkan hak wanita, perdamaian dan perlindungan
alam. NGO beroperasi ditingkat universal, antar benua dan tingkat regional. Contoh NGO
seperti Palang Merah Internasional, Oxfam, Doctor Without Borders, CARE International,
Save The Children Federation dan lain-lain.
Aktor non negara profit seperti perusahaan multinasional (MNC) juga merupakan NGO
yang bertugas khusus mencari keuntunngan dan bergerak hingga melewati hingga lintas
batas negara. Perusahaan multinasional (MNC) ini berusaha mempengaruhi tindakan dan
kebijakan aktor negara tempat berinvestasi agar menerapkan sistem perdagangan liberal
dan kebijakan investasi sehingga memberikan keuntungan kepada MNC itu sendiri. MNC
bergerak dibidang industri, perbankan dan perusahaan jasa. Contoh MNC McDonald, KFC,
Honda, Carrefour, GAP dll
MNC selalu menekan pemerintah untuk dapat menciptakan lingkungan bisnis dan
perdagangan yang ideal. Ideal dalam artian adalah lingkungan yang jauh dari kekerasan
dan konflik. Hal ini tak lain bertujuan untuk memudahkan MNC tersebut dalam meraup
keuntungan.
Dalam globalisasi, MNC memberikan peran yang besar dalam persebaran ilmu teknologi,
produksi, dan kapital negara-negara yang ia jadikan pasar. Dimana koorporasi ini disisi lain
juga memberikan keuntungan bagi masyarakat yang berada di negara berkembang berupa
kemampuan produksi. Pada saat yang sama negara pemilik MNC juga mendapat keuntungan
dari hasil produksi dan efisiensi dalam produksinya. Dimana mereka dapat memperoleh
tenaga kerja dan bahan baku murah, sehingga dapat mengeruk keuntungan yang lebih besar.
Salah satu konsep liberalisme menjelaskan bahwa dengan 2 negara atau lebih menjalin
hubungan yang saling menguntungkan, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk berperang.
Aktor utama dalam hubungan yang saling menguntungkan ini tidak lain adlah MNC sebagai
alat negara untuk mencari keuntungan dengan melewati batas teretori negaranya.
"Mahasiswa baik silahkan copas"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar